KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan ke hadirat Illahi Robbi karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “INDUK-INDUK AKHLAK TERPUJI”.
Kami menyadari
bahwa selama penulisan banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu.
Makalah ini
bukanlah karya yang sempurna karena masih banyak kekurangan, baik dalam hal ini
maupun sistematika dan teknik penulisannya.Oleh sebab itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam penyempurnaaan
makalah ini.Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.Amiin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam
kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya
yang mendarah daging, maka semua perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. Dengan demikian, baik atau buruknya seseorang dilihat dari
perbuatannya.
Induk akhlak islami yang akan dibahas pada makalah
maksudnya adalah sikap adil dalam melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil
tersebut akan muncul beberapa teori pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara
(perbuatan) itu terletak pada pertengahannya, hal ini apa yang telah Nabi
sabdakan :
Artinya :
“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Oleh karena
itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak islami, di dalam makalah ini
akan membahas apa yang dimaksud dengan induk akhlak islami, serta ketiga macam
induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang
dalam mempergunakan ketiga potensi sohaniah yang terdapat dalam diri manusia :
akal, amarah dan anfsu syahwat.
BAB II
PEMBAHASAN
INDUK-INDUK
AKHLAK TERPUJI
Allah Swt.
menciptakan manusia sebagai makhluk yang mulia, Kemuliaan manusia
akan tetap
bertahan selama manusia berpegang teguh kepada akhlak mulia yang
dianjurkan
oleh al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasul.
“Dan
sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat
dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna
.” (QS.
Al-Isra [17] : 70)
1.
Induk-Induk Akhlak Terpuji
Seorang
muslim seharusnya menghiasi diri dengan akhlak terpuji (mahmudah). Adapun
akhlak terpuji yang harus dimiiliki oleh seorang
muslim
antara lain:
a. Berani
dalam segala hal yang positif.
b. Adil dan
bijaksana dalam menghadapi dan memutuskan sesuatu;
c.
Mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri;
d. Pemurah
dan suka menafkahkan hartanya, baik pada waktu lapang
maupun
susah;
e. Ikhlas
dalam melaksanakan setiap amal perbuatan semata-mata karena
Allah Swt.;
f. Cepat
bertobat dan meminta ampun kepada Tuhan jika melakukan
suatu dosa;
g. Jujur,
benar dan amanah;
h. Tenang
dalam menghadapi berbagai masalah, tidak berkeluh kesah,
dan tidak
gundah gulana;
i. Sabar
dalam menghadapi setiap cobaan atau melaksanakan kewajiban
ibadah
kepada Tuhan;
j. Pemaaf,
penuh kasih sayang, lapang hati dan tidak membalas dendam;
k. Selalu
optimis dalam menghadapi kehidupan dan penuh harap kepada
Allah Swt.;
l. Iffah,
menjaga diri dari sesuatu yang dapat merusak kehormatan dan
kesucian;
m. Al-haya
yakni malu melakukan perbuatan yang tidak baik;
n. Tawadu
(rendah hati);
o.
Mengutamakan perdamaian daripada permusuhan;
p. Zuhud dan
tidak rakus terhadap kehidupan duniawi;
q. Rida atas
segala ketentuan yang ditetapkan Allah Swt.;
r. Baik
terhadap teman, sahabat, dan siapa saja yang terkait dengannya;
s. Bersyukur
atas segala nikmat yang diberikan atau musibah yang
dijatuhkan
t. Berterima
kasih kepada sesama umat manusia;
u.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan;
v.
Bertawakal setelah segala usaha dilaksanakan dengan sebaik-baiknya;
w. Dinamis
sampai tujuan dan cita-cita tercapai;
x. Murah
senyum dan menampilkan wajah yang ceria kepada sesama
y. Menjauhi
sifat iri hati dan dengki;
z. Rela
berkorban untuk kemaslahatan umat manusia dan dalam membela
agama
Secara khusus dalam bab ini akan dibahas
mengenai
hikmah,
iffah, syaja’ah dan ‘adalah.
2. Menggali Hikmah
Kehidupan
a.
Pengertian Hikmah dan Ruang Lingkupnya Secara bahasa al-hikmah berarti: kebijaksanaan,
pendapat atau pikiran yang bagus,
pengetahuan,filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan
al-Qur'an. Menurut Al-Maraghi
dalam kitab
Tafsirnya, menjelaskan al-Hikmah sebagai perkataan yang tepat lagi tegas yang
diikuti dengan dalil-dalil yang dapat menyingkap kebenaran. Sedangkan menurut
Toha Jahja Omar; hikmahadalah bijaksana, artinya meletakkan sesuatu pada
tempatnya, dan kitalah yang harus berpikir, berusaha, menyusun, mengatur
cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asal tidak bertentangan
dengan hal-hal yang dilarang oleh Allah sebagaimana dalam ketentuan
hukum-Nya.Dalam
kata al-hikmah terdapat makna pencegahan, dan ini meliputi
beberapa
makna, yaitu:
1) Adil akan
mencegah pelakunya dari terjerumus ke dalam kezaliman.
2) Hilm akan
mencegah pelakunya dari terjerumus ke dalam
kemarahan.
3) Ilmuakan
mencegah pelakunya dari terjerumus ke dalam kejahilan.
4) Nubuwwah, seorang Nabi tidak lain diutus
untuk mencegah manusia dari menyembah selain Allah, dan dari terjerumus kedalam
kemaksiatan serta perbuatan dosa. al-Qur’an dan seluruh kitab
samawiyyahditurunkan oleh Allah agar manusia terhindar dari syirik, mungkar, dan
perbuatan buruk.
Lafad al-hikmah tersebut dalam al-Qur’an
sebanyak dua puluh kali dengan berbagai makna.
a. Bermakna
pengajaran Al-Qur’an
“Dan apa
yang telah diurunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan al-hikmah,
Allah memberikan pengajaran ( mau’izah ) kepadamu dengan apa yang diturunkannya
itu “
(QS.
Al-Baqarah [2] : 231)
b. Bermakna
pemahaman dan ilmuHai Yahya, ambillah Al kitab (Taurat) itu dengan
sungguh-sungguh. dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.
(QS. Maryam
[19 ]: 12)
c. Bermakna
An-Nubuwwah (kenabian). (QS.An-Nisa' [4] :5 4 dan QS.sad [38] : 20)
d. Bermakna
al-Qur’an yang mengandung keajaiban-keajaiban dan penuh rahasia (QS. Al-Baqarah
[2] : 269)
Abdurrahman
As-Sa’di menafsirkan kata Al-hikmah dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan
pengetahuan-pengetahuan yang benar, akal yang lurus, kecerdasan yang murni,
tepat dan benar dalam hal perkataan maupun perbuatan.” Kemudian
beliau berkata, “seluruh perkara tidak akan baik kecuali dengan al-hikmah, yang
tidak lain adalah menempatkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya; mendudukkan
perkara pada tempatnya, mengundurkan ( waktu ) jika memang sesuai dengan
kondisinya, dan memajukan ( waktu ) jika memang sesuai dengan yang
dikehendaki.”
b. Anjuran
Memiliki Hikmah
Hikmah itu
adalah Setiap perkataan yang benar dan menyebabkan perbuatan yang benar. Hikmah
ialah: ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, kebenaran dalam perbuatan dan
perkataan, mengetahui kebenaran dan mengamalkanya.Tidaklah cukup dalam
mengamalkan ajaran agama hanya dengan al-Qur’an saja tanpa dengan
al-Hikmah
yang berarti as-sunnahatau pemahaman yang benar tentang al-Qur’an, karena
itulah as-sunnahjuga disebut sebagai al-hikmah. Orang yang dianugerahi
al-hikmah
adalah:
Orang yang mempunyai ilmu mendalam dan mampu mengamalkannya secara nyata dalam
kehidupan. Orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Orang yang
menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya (adil). Orang yang mampu memahami dan
menerapkan
hukum Allah SwtSetelah seseorang mendapatkan hikmah, maka baginya wajib untuk
menyampaikan atau mendakwahkannya sesuai dengan firman Allah Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang
yang mendapat petunjuk. (QS. An-nahl [16] : 125)
Hikmah dalam
berdakwah tidak terbatas pada makna: perkataan yang
lemah
lembut, pemberian motivasi,
hilm ( tidak
cepat emosi dan tidak bersikap masa bodoh), halus ataupun pemaaf. Namun, hikmah
juga mencakup pemahaman yang mendalam tentang berbagai perkara berikut
hukum-hukumnya, sehingga dapat menempatkan seluruh perkara tersebut pada
tempatnya, yaitu
pendidikan
sesuai dengan tempatnya. Berkata dan berbuat secara
tepat dan
benar
2) Dapat
memberi nasihat pada tempatnya
3) Dapat
menempatkan mujadalah (dialog) yang baik pada tempatnya.
4) Dapat
menempatkan sikap tegas
5)
Memberikan hak setiap sesuatu, tidak berkurang dan tidak
berlebih,
tidak lebih cepat ataupun lebih lambat dari waktu yang
dibutuhkannya
c. Keutamaan
Hikmah
1) memiliki
rasa percaya diri yang tinggi dalam melaksanakan dan
membela
kebenaran ataupun keadilan,
2)
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bekal utama yang terus
dikembangkan,
3) mampu
berkomunikasi denga orang lain dengan beragam pendekatan
dan bahasan,
4) memiliki
semangat juang yang tinggi untuk mensyiarkan kebenaran
dengan
beramar makruf nahi munkar,
5) senantisa
berpikir positif untuk mencari solusi dari semua persoalan
yang
dihadapi,
6) memiliki
daya penalaran yang obyektif dan otentik dalam semua
bidang
kehidupan,
7)
orang-orang yang dalam perkataan dan perbuatannya senantiasa
selaras
dengan sunnah Rasulullah
3.
Membiasakan Sikap Iffah
a.Pengertian
‘Iffah
Secara
etimologis, ‘iffahadalah bentuk
masdardari
affa-ya’iffu-‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik,
iffah juga
berarti kesucian tubuh. Secara terminologis, iffahadalah memelihara kehormatan
diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. Iffah
(al-iffah) juga dapat dimaknai sebagai usaha untuk memelihara kesucian diri
(al-iffah ) adalah menjaga diri dari segala tuduhan, ftnah, dan memelihara
kehormatan.
b. Iffah
dalam Kehidupan
iffah
hendaklah dilakukan setiap waktu agar tetap berada dalam keadaan kesucian. Hal
ini dapat dilakukan dimulai memelihara hati (qalbu) untuk tidak membuat rencana
dan angan-angan yang buruk. Sedangkan kesucian diri terbagi ke dalam beberapa
bagian:
“Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS. An-Nur [24] : 33)
b) Kesucian
Jasad; (QS. Al-ahzab [33] : 59)
“Hai Nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: «Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka».
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (
QS. Al-Ahzab
[33] : 59)
c) Kesucian
dari Memakan Harta Orang Lain; (QS. An-Nisa [4] : 6)
Dan ujilah
anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. ke mudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih
dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)
sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa
yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.
dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
(QS. An-Nisa
[4] : 6)
d). Kesucian
Lisan
Dengan cara
tidak berkata menyakitkan orang tua seperti firman Allah Swt.
Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalampemeliharaanmu,
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan «ah» dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
mulia (QS. Al Isra [17] : 23)
c. Keutamaan
Iffah
Dengan
demikian, seorang yang afif adalah orang yang bisa menahan diri dari
perkara-perkara yang dihalalkan ataupun diharamkan walaupun jiwanya cenderung
kepada perkara tersebut dan menginginkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah:.
Artinya; “Apa yang ada padaku dari kebaikan (harta) tidak ada yang aku simpan
dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah
akan memelihara dan menjaganya,
dan siapa
yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta maka Allah akan menjadikannya sabar.
Dan siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya maka
Allah akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu
pemberian
yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Agar seorang mukmin memiliki sikap iffah, maka
harus melakukan usaha-usaha untuk membimbing jiwanya dengan melakukan dua hal
berikut:dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya maka Allah akan memberikan
kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatupemberian yang lebih baik dan
lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Agar seorang
mukmin memiliki sikap iffah
, maka harus
melakukan usaha-usaha untuk membimbing jiwanya dengan melakukan dua hal
berikut:
menjaga
kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan
apa yang ada
di tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada
makhluk,
baik secara lisan (lisnul maqal) maupun keadaan (lisanul hal)
2) Merasa
cukup dengan Allah, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa
yang
bertawakal kepada Allah, pasti Allah akan mencukupinya. Allah itu mengikuti
persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh
kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh
apa yang
disangkanya.
Untuk mengembangkan sikap ‘iffah ini, maka ada beberapa hal
yang harus
diperhatikan dan dilakukan oleh seorang muslim untuk menjaga kehormatan diri,
di antaranya:
1) Selalu
mengendalikan dan membawa diri agar tetap menegakan sunnah Rasulullah,
2)
Senantiasa mempertimbangkan teman bergaul dengan teman yang jelas akhlaknya,
3) Selalau
mengontrol diri dalam urusan makan, minum dan berpakaian secara Islami,
4) Selalu
menjaga kehalalan makanan, minuman dan rizki yang diperolehnya,
5)
Menundukkan pandangan mata (ghadul bashar) dan menjaga kemaluannya,
6) Tidak
khalwat (berduaan) dengan lelaki atau perempuan yang bukan
mahramnya,
7)
Senantiasa menjauh diri dari hal-hal yang dapat mengundang fitnah.
’Iffah merupakan akhlak paling tinggi dan
dicintai Allah Swt. Oleh sebab itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak
masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan daya tahan terhadap
keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan membahayakan
saat telah
dewasa. Dari sifat ’iffahakan lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana’ah,
jujur, santun, dan akhlak terpuji lainnya.Ketika sifat ’iffahini sudah hilang
dari dalam diri seseorang, akan membawa pengaruh buruk dalam diri seseorang,
akal sehat akan tertutup
oleh nafsu
syahwatnya, ia sudah tidak mampu lagi membedakan mana
yang benar
dan salah, mana baik dan buruk, yang halal dan haram.
a.
Pengertian Syaja’ah
Secara
etimologi kata al-syaja’ahberarti berani antonimnya dari kata al-jabnyang
berarti pengecut. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan
perang. Sisi positif dari sikap berani yaitu mendorong seorang muslim untuk
melakukan pekerjaan
berat dan
mengandung resiko dalam rangka membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila
tidak digunakan sebagaimana mestinya menjerumuskan seorang muslim kepada
kehinaan.
Syaja’ahdalam
kamus bahasa Arab artinya keberanian atau keperwiraan, yaitu seseorang yang
dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian menerima
musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Pada diri seorang pengecut
sukar didapatkan sikap sabar dan berani. Selain itu
Syaja’ah(berani)
bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap
mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.
b. Penerapan
Syaja’ahdalam Kehidupan
Sumber
keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu;
1) Rasa
takut kepada Allah Swt.
2) Lebih
mencintai akhirat daripada dunia,
3) Tidak
ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang
4) Tidak
menomori satukan kekuatan materi,
5) Tawakal
dan yakin akan pertolongan Allah,
Jadi berani adalah: “Sikap Dewasa dalam
menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam. Orang yang melihat
kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah
pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah pemberani
(al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf(tidak takut
sama sekali)”
Berdasarkan pengertian yang ada di atas,
dipahami bahwa berani terhadap sesuatu bukan berarti hilangnya rasa takut
menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang berorientasi kepada aspek
maslahat dan tanggung jawab dan berdasarkan pertimbangan maslahat. Predikat
pemberani bukan hanya diperuntukkan kepada pahlawan yang berjuang di medan
perang. Setiap profesi dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan
kewajibannya secara bertanggungjawab. Kepala keluarga dikategorikan berani
apabila mampu menjalankan tanggungjawabnya secara maksimal, pegawai dikatakan
berani apabila mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterus nya.
Keberanian
yang terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal dalam setiap peranan yang
diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan berani yang tercela
adalah apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak tepat
penggunaannya.
Syaja’ahdapat
dibagi menjadi dua macam:
1) Syaja’ah
harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak,
misalnya
keberanian dalam medan tempur di waktu perang.
2) Syaja’ah
nafsiyah,yaitu keberanian menghadapi bahaya atau
penderitaan
dan menegakkan kebenaran.
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas
dari keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Berani
membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.
2) Berani
membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani
membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.
Dari dua macam syaja’ah (keberanian)
tersebut di atas, maka syaja’ah
dapat
dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki
daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
b) Berterus
terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
c) Mampu
menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan. Kemampuan
merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia
adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
d) Berani
mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat pengecut yang tidak mau
mengakui kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap ”lempar batu sembunyi
tangan” Orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau
meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.
e) Bersikap
obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung
bersikap
“over confidence” terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan
tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap “under
estimate”terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat
apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap
obyektif, dalam mengenali dirinya yang
memiliki
sisi baik dan buruk.
f) Menahan
nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu
ber–mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat
mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang
untukmelampiaskan amarahnya.
c. Hikmah
syaja’ah
dalam ajaran
agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk
di miliki
setiap muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat
mendatangkan
berbagai kebaikan bagi kehidupan beragama berbangsa
dan
bernegara. Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk
sifat mulia,
cepat, tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai.
Akan tetapi apabila seorang terlalu dominan keberaniannya, apabila tidak
dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat
ceroboh, takabur, meremehkan orang lain, unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika
seorang
mukmin kurang syaja’ah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas,
kecewa, kecil hati dan sebagainya.
5.
Menegakkan Sikap ’Adalah
1.
Pengertian
Pengertian adil menurut bahasa adalah
sebagai berikut.
Meletakkan
sesuatu pada tempatnya
Adil juga
berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan
yang satu
dengan yang lain.
Berlaku adil
adalah memperlakukan hak dan kewajiban secara
seimbang,
tidak memihak, dan tidak merugikan pihak mana pun.
Adil dapat
berarti tidak berat sebelah serta berarti sepatutnya, tidak
sewenang-wenang.
Jamil
Shaliba, penulis kamus Filsafat Arab, mengatakan bahwa,
menurut
bahasa adil berarti al-Istiqamah yang berarti tetap pada
pendirian,
sedangkan dalam syari'at adil berarti tetap dalam pendirian
dalam
mengikuti jalan yang benar serta menjauhi perbuatan yang
dilarang
serta kemampuan akal dalam menundukkan hawa nafsu.
Sebagaimana
firman di bawah ini.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(QS. an-Nahl
[16] : 90)
2.
Bentuk-Bentuk Adil
a. Adil
terhadap Allah, artinya menempatkan Allah pada tempatnya yang benar, yakni
sebagai makhluk Allah dengan teguh melaksanakan apa yang diwajibkan kepada
kita, Sehingga benar-benar Allah sebagai Tuhan kita.
b. Adil
terhadap diri sendiri, yaitu menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan
benar. Untuk itu kita harus teguh, kukuh menempatkan diri kita agar tetap
terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan. Untuk mewujudkan hal
tersebut kita harus memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta menghindari
segala perbuatan yang dapat mencelakakan diri.
c. Adil
terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempatnya yang sesuai,
layak, dan benar. Kita harus memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar tidak
mengurangi sedikitpun hak yang harus diterimanya.
d. Adil
terhadap makhluk lain, artinya dapat menempatkan makhluk lain pada tempatnya
yang sesuai, misalnya adil kepada binatang, harus menempatkannya pada tempat
yang layak menurut kebiasaan binatang tersebut.
3. Kedudukan
dan Keutamaan adil
a.
Terciptanya rasa aman dan tentram karena semua telah merasa diperlakukan dengan
adil.
b. Membentuk
pribadi yang melaksanakan kewajiban dengan baik
c.
Menciptakan kerukunan dan kedamaian
d. Keadilan
adalah dambaan setiap orang. Alangkah bahagianya apabila keadilan bisa
ditegakkan demi masyarakat, bangsa dan negara, agar masyarakat merasa tentram
dan damai lahir dan batin.
e. Begitu
mulianya orang yang berbuat adil sehingga Allah tidak akan menolak doanya.
Demikian pula Allah sangat mengasihi orang yang dizalimi (tidak
diperlakukan secara adil) sehingga Allah tidak akan menolak doanya.
“Tiga orang
yang tidak tertolak doanya, yaitu orang yang sedang berpuasa
hingga
berbuka, pemimpin yang adil dan orang yang teraniaya”
(HR. Ahmad)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian,
yaitu akhlak yang baik (al-akhlak al karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlak al-mazmumah).
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk
kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira
atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga
macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau
seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri
manusia, yaitu ‘aql (pemikitan) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang
berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Oleh karena itu, dari sikap pertengahan dalam
menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat akan menimbulkan sikap bijaksana,
perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan
akhlak yang mulia.
good
ReplyDelete